Senin, 02 Agustus 2010

http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:V8N8tQLDApEqJM

Kasus HIV/AIDS di Indonesia Semakin Mencemaskan

Kasus HIV/ AIDS di Indonesia Meroket
Mencemaskan! Kasus HIV/AIDS di Indonesia meroket cepat. Perilaku dan gaya hidup bebas telah membuat kasus ini melaju kencang di Indonesia.

Menurut data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional menunjukan, tahun 1987 jumlah penderita AIDS di Indonesia masih lima kasus. Dalam rentang waktu 10 tahun, hanya bertambah menjadi 44 kasus. Tetapi sejak 2007, kasus AIDS tiba-tiba melonjak menjadi 2.947 kasus dan periode Juni 2009 meningkat hingga delapan kali lipat, menjadi 17.699 kasus. Dari jumlah tersebut, yang meninggal dunia mencapai 3.586 orang.

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan penyakit Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). HIV menyerang system kekebalan tubuh dan merusak bagian dari system itu, yaitu jenis sel darah putih yang disebut T lymphocyte atau T cell atau dalam bahasa Indonesia, sel limfosit T.

Menurut KAPETA Foundation, banyak orang tidak merasa berbeda setelah terinfeksi HIV. bahkan banyak orang tidak merasa gejala apa-apa selama bertahun-tahun. Oleh karena itu, tak sedikit orang yang tertular HIV tetapi tidak menyadarinya.

Diestimasikan, di Indonesia tahun 2014 akan terdapat 501.400 kasus HIV/AIDS. Penderita HIV/AIDS sudah terdapat di 32 provinsi dan 300 kabupaten/kota. Penderita ditemukan terbanyak pada usia produktif, yaitu 15-29 tahun. Padahal, pengurangan kasus HIV/AIDS merupakan salah satu target Millennium Development Goals (MDGs).

Fakta menunjukkan, Papua tidak lagi menjadi provinsi yang memiliki jumlah kasus HIV/AIDS paling banyak, meski untuk prevalansi per penduduk masih yang tertinggi. Justru di Jawa Barat (Jabar) jumlah kasus penderita HIV/AIDS menduduki peringkat pertama. Jabar mencapai 3.213 kasus, disusul DKI Jakarta 2.810 kasus, Jawa Timur 2.753 kasus, kemudian keempat Papua dengan 2.605 kasus.

Memang, kasus HIV/AIDS di Indonesia bagaikan fenomena gunung es. Jumlah penderita yang melapor hanyalah sebagian kecil dari kasus sesungguhnya terjadi. Ada estimasi, kasus HIV/AIDS di Indonesia sebenarnya sudah mencapai 270.000 penderita.

“Penderita yang melapor hanya 10%. Banyak yang menderita HIV tidak mau melapor karena masih merasa sehat,” kata Sekretaris KPA Nasional Nafsiah Mboi.

Nafsiah menegaskan, tingginya peningkatan kasus HIV/AIDS sebagian besar diakibatkan penularan lewat hubungan seksual, selain suntikan, transfusi dan sebagian kecil tertular karena kehamilan dan melalui pajanan saat bekerja. Pajanan adalah peristiwa yang menimbulkan risiko penularan. Pajanan ada tiga macam, yaitu pajanan di tempat kerja, yang biasanya menimpa petugas perawatan kesehatan. Peristiwa ini biasanya berupa kecelakaan akibat tertusuk jarum suntik bekas pakai secara tidak sengaja pada petugas. kedua, pajanan akibat hubungan seks berisiko, misalnya bila kondom pecah atau lepas saat ODHA berhubungan seks dengan pasangan HIV negatif. Ketiga, pajanan akibat perkosaan. Tambahnya, jika hubungan seks terjadi secara paksa, yang sering disertai kekerasan, risikonya lebih tinggi.

Data KPA Nasional menunjukkan, 3,3 juta laki-laki mengunjungi pekerja seks. Ada 381.000 laki-laki menyuntik narkoba, dan 809.000 melakukan hubungan seksual sesama jenis. Sri Kusyuniati, Direktur World Population Foundation Perwakilan Indonesia mengakui, tren kasus HIV/AIDS di Indonesia akan terus meningkat. Masyarakat yang berisiko tinggi terhadap HIV, seperti pekerja seks, gay, waria, atau pengguna jarum suntik, sebenarnya mengetahui perbuatannya akan berdampak terhadap potensi penularan HIV. Oleh karena itu, dia menegaskan perlu penanganan kasus HIV/AIDS secara nasional yang melibatkan semua pihak, termasuk pemuka agama.

Kusyuniati menegaskan, banyak perempuan dan anak-anak akhirnya tertular HIV dari laki-laki yang sering berhubungan dengan pekerja seks. Dan mereka juga lebih menderita karena mereka akan dikucilkan oleh lingkungan. Stigma masyarakat terhadap penderita HIV/AIDS masih negatif. Hal ini juga yang mendorong banyak perempuan penderita HIV/AIDS secara langsung menyingkir dari lingkungannya. Sehingga dibutuhkan kampanye lebih intensif dan besar-besaran yang menyadarkan masyarakat agar tidak mengucilkan penderita HIV/AIDS.

Jabar, provinsi dengan kasus HIV/AIDS tertinggi,

Kalau sebelumnya Papua menempati posisi pertama sebagai provinsi di Indonesia dengan jumlah kasus HIV/AIDS tertinggi, kini posisi itu ditempati Provinsi Jawa Barat (Jabar). Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan (Depkes) per bulan Desember 2008, Jabar memiliki kasus AIDS tertinggi di Indonesia dengan 2.888 kasus. Sementara itu, untuk HIV mencapai 1.523 kasus. Diperkirakan, jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Jabar mencapai 21.000 orang.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Jabar pada Agustus 2008, Kota Bandung menjadi daerah terbanyak kasus HIV/AIDS di Jabar dengan 534 kasus untuk HIV positif dan 929 kasus untuk AIDS. Dari 929 kasus AIDS, 773 kasus di antaranya disebabkan pengunaan jarum suntik secara bergantian. Selain itu, Kota Bekasi memiliki 298 kasus AIDS dan 143 kasus HIV positif. Disusul Kota Sukabumi dengan 109 kasus AIDS dan 148 HIV positif. Mayoritas penularan AIDS akibat penggunaan jarum suntik.

Tidak hanya Jabar, provinsi lainnya juga patut diwaspadai. Meskipun dari segi jumlah kasus Papua di bawah Jabar, DKI Jakarta dan Jawa Timur, namun dari segi penyebaran, Papua masih tertinggi. Jumlah penderita HIV/AIDS di Kabupaten Mimika, Papua hingga akhir Juni 2009 mencapai 1.993 orang, yang merupakan jumlah tertinggi di Papua. Persentase peningkatan jumlah ini disebabkan factor hubungan seks bebas yang mencapai 89% dan rendahnya kesadaran dan pengetahuan tentang perilaku berisiko tinggi.

Dampak Epidemi ganda AIDS dan Narkoba pada Anak Indonesia

Busung lapaaaar! “Menko Kesra kunjungi pasien busung lapar” – semua hiruk pikuk. Ternyata? Yang disangka busung lapar adalah anak balita dengan AIDS – kedua orang tuanya adalah ODHA (Orang yang hidup dengan HIV/AIDS) dan bayinya ketularan virus HIV dari orang tua melalui kandungan dan air susu ibunya.

Nopember 2004: pertemuan dengan Ibu Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Saya mengajak seorang remaja puteri, umur 17 tahun, dia menikah dengan pacarnya seorang mantan pecandu narkoba suntik berusia 21 tahun. Kini, 1 tahun kemudian, dia sudah janda, suaminya meninggal karena AIDS, dia sendiri juga HIV positif. Bayinya masih terlalu dini untuk diketahui apakah virus itu ada dalam tubuhnya atau tidak, tetapi ibu ODHA remaja ini, terus hidup dalam kekhawatiran, bagaimana kalau bayinya ternyata positif? Bagaimana masa depannya?

September 2005: Pertemuan tertutup ODHA disuatu kota. Saya tertegun: diantara 15 ODHA yang menghadiri pertemuan, 7 orang adalah ODHA perempuan , 5 ketularan dari suami atau pacarnya, 2 orang dari pelanggannya. Dari antara mereka, 2 orang telah melahirkan bayi, yang belum jelas status HIV-nya.

Melihat tiga kejadian di atas saya bertanya pada diri sendiri: ada apa dengan HIV/AIDS di Indonesia? Apakah sudah masuk dalam keluarga dan masyarakat umum? Mengapa Pemerintah termasuk DPR/DPRD ayem2 saja? Apakah ada yang peduli?

Grafik 1 : Data kumulatif AIDS di Indonesia 1987 s/d 30 Juni 2005

1

I. Situasi Epidemi Ganda AIDS dan Narkoba di Indonesia
Bagaimana sebenarnya situasi HIV/AIDS di Indonesia sekarang? Mengapa kita selalu menyebut epidemi ganda AIDS dan Narkoba dalam satu nafas?
Grafik 1 menunjukkan perkembangan epidemi AIDS di Indonesia. Dari tahun 1987 sampai tahun 2000, jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan meningkat secara per-lahan2, sebagian besar penularan melalui hubungan seksual yang berisiko (= ganti2 pasangan seksual, tanpa memakai kondom). Sejak tahun 2001, jumlah kasus HIV dan AIDS yang dilaporkan mulai meningkat dengan cepat, cara penularannya tidah hanya seksual, tetapi juga melalui narkoba suntik, dari Ibu ke Bayi, dan transfusi darah.
Sampai dengan 30 Juni 2005, dilaporkan 7098 kasus HIV/AIDS. Yang sudah dalam stadium AIDS berjumlah 3740 orang (berarti mereka sudah membutuhkan pengobatan/ perawatan dan kemungkinan secara sadar ataupun tidak, sudah menularkan virus HIV selama bertahun-tahun). Semua provinsi sudah melaporkan adanya HIV/AIDS maupun Narkoba. 10 tahun yl > 90% penularan melalui hubungan seksual, pada tahun 2005 yang paling dominan (46,5 %) adalah penularan melalui narkoba suntik, melampaui penularan melalui hubungan seksual (hetero + homo seksual 42,4 %). Anak yang menderita AIDS berusia peningkatan angka kesakitan dan kematian pada bayi dan anak, serta peningkatan jumlah anak yatim piatu karena kematian salah satu atau ke-2 orang tuanya.
“Keistimewaan” HIV/AIDS adalah: bila sepasang suami isteri sudah terlanjur ketularan virus HIV (seringkali tanpa diketahuinya) , maka setiap kali mereka melakukan hubungan suami isteri tanpa memakai kondom maka mereka saling ”menyumbang” virus, dengan akibat jumlah virus dalam tubuh keduanya akan bertambah. Karena itu, kemungkinan lebih besar anak2 mereka akan mengalami kematian kedua orang tuanya.
Dari data2 beberapa provinsi seperti Papua, Kepri, Jawa Barat dll, tampak bahwa jumlah Ibu2 rumah tangga yang ketularan dari suaminya makin meningkat. Ini menunjukkan bahwa HIV/AIDS tidak lagi jadi milik mereka yang ”berperilaku risiko tinggi”, tetapi sudah masuk dalam keluarga dan masyarakat yang tidak berdosa.

II. Anak sebagai ODHA:
Penularan HIV pada anak terjadi oleh berbagai sebab:
Usia 0-5 tahun: HIV/AIDS pada anak Balita biasanya terjadi karena menularnya virus dari orang tuanya melalui Ibunya. Penularan bisa terjadi selama kehamilan, persalinan atau melalui asi – seringkali tanpa diketahui orang tuanya. Di Indonesia, seringkali anak balita yang terinfeksi HIV meninggal sebelum usia 5 tahun. Di dunia, setiap tahun + 500.000 orang anak meninggal karena AIDS (Unicef)

Usia 5-12 tahun: (TK-SD): HIV/AIDS dalam kurun usia ini dapat disebabkan karena: a) penularan perinatal yang ringan dan mendapat layanan kesehatan yang optimal, atau b) infeksi melalui darah transfusi yang tercemar dan c) karena kekerasan & eksploitasi seksual oleh pedofil (yaitu lelaki yang suka hubungan seks/ memperkosa anak kecil). Korban pedofil bisa anak perempuan maupun anak laki2 (sodomi). Selain pada umumnya umur pendek, anak2 ini juga mengalami penderitaan fisik, mental dan sosial, karena mereka sudah merasakan perlakuan diskriminatif dengan stigma yang kejam oleh keluarga dan masyarakat yang kurang pengetahuan tentang HIV/AIDS. Di Afrika puluhan ribu anak2 terpaksa menjadi kepala keluarga, pada usia yang sangat muda mereka harus mencari nafkah untuk menanggung hidup diri dan saudara2nya. Banyak diantaranya terpaksa jadi anak jalanan yang berusaha hidup dengan mengemis, atau melakukan pekerjaan yang membahayakan hidupnya, bahkan tidak jarang dengan melakukan tindak kriminal seperti mencuri, terlibat dalam perdagangan narkoba dll.
Penderitaan yang luar biasa dialami anak usia ini yang mengalami kekerasan dan eksploitasi seksual dari “orang2 dekat”: ayah, ayah tiri, paman, guru dll. Dampaknya akan menghantui anak ini seumur hidupnya.

Usia 12-18 tahun: (remaja) penularan seksual pada usia ini terjadi karena seks suka sama suka, seks “iseng” atau coba2, oleh kekerasan atau eksploitasi seksual. Penularan non seksual terjadi karena pemakaian napza/narkoba suntik (IDU) maupun transfusi darah yang tercemar. Pada saat ini, sekitar 50% remaja yang HIV/AIDS ketularan melalui narkoba suntik, tetapi dikhawatirkan, bahwa angka ini akan makin meningkat dengan cepat, disebabkan upaya pencegahan yang sangat tidak memadai, sedangkan bagi remaja yang terlanjur menjadi pecandu, hampir tidak tersedia pelayanan untuk pengobatannya.

Apa yang dapat kita lakukan?
a. Upaya pencegahan:
Penularan perinatal: pencegahan penularan HIV dari Ibu ke bayinya dilakukan melalui 3 cara yang saling terkait: a) pencegahan penularan HIV pada setiap CALON orang tua, laki2 maupun perempuan dari usia yang sedini mungkin bahkan sebelum mereka aktif secara seksual, b) pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan pada Wanita HIV+, dan c) bila Ibu ODHA sudah terlanjur hamil: konseling, pemberian ARV serta penata laksanaan kehamilan, persalinan serta opsi pemberian asi yang paling banyak mengurangi risiko penularan dan sesuai dengan keluarga ybs. Penelitian2 di beberapa negara menunjukkan, bahwa akses ARV dalam Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayinya (Prevention of Mother to Child Transmission = PMTCT) dapat menurunkan resiko penularan Ibu kepada bayinya sampai 35-50%.
Penularan karena eksploitasi dan kekerasan seksual: upaya pencegahan harus dilakukan dengan sungguh2, dengan menggerakkan partisipasi masyarakat untuk “zeo tolerance” terhadap pedofilia tersebut, dengan hukuman yang setinggi-tingginya terhadap pelaku. Penelitian juga menunjukkan, bahwa hukuman harus disertai konseling bahkan pengobatan psikososial untuk pelaku kejahatan tsb. untuk mencegah pengulangan perilakunya setelah keluar dari penjara.
Penularan melalui jarum suntik: pengamanan transfusi darah, penertiban mantri2 liar, terutama di daerah2 dengan prevalensi tinggi, dan khusus untuk para remaja penyalah guna narkoba suntik (IDU): supply, demand dan harm reduction yang efektif. Setiap anak/ remaja yang terlanjur jadi penyalah guna narkoba suntik, seyogyanya diberikan pelayanan/ kesempatan guna mencegah penularan HIV melalui program “Pengurangan Dampak Buruk atau Harm Reduction”
Ini semua mudah diucapkan, kita tahu apa yang harus dilakukan, kita ada contoh2 keberhasilan dari negara2 lain, tetapi upaya pencegahan di Indonesia mengalami banyak sekali tantangan, kendala dan hambatan, termasuk tantangan dari para anggota DPR/ DPRD yang kurang pengetahuannya tentang HIV/AIDS dan Narkoba, serta dampaknya pada anak dan remaja kita.

b. Pemeriksaan anak untuk mengetahui status HIVnya
Sama dengan orang dewasa, diagnosa hanya dapat dipastikan dengan pemeriksaan darah (testing) yaitu dengan menemukan antibodi atau virus HIV dalam darahnya. Tetapi, saat ini testing sederhana dengan pemeriksaan antibodi, dapat memastikan apakah bayi terinfeksi HIV baru pada usia 18 bulan. Pada usia yang lebih muda, masih ada kemungkinan antibodi tersebut berasal dari ibunya. Disamping itu, petugas kesehatan dapat menduga adanya HIV/AIDS, bila ada gejala2 klinis seperti al: berat badan anak tidak/ sulit naik (”failure to thrive”) bahkan menurun, daya tahan tubuhnya sangat rendah sehingga anak sering sakit: diare, batuk pilek, jamur di mulut dll – yang biasanya tidak atau sulit disembuhkan dengan obat2 ”biasa”.

c. Perawatan, pengobatan dan dukungan.
Sama dengan orang dewasa, pengetahuan kita tentang perawatan dan pengobatan bagi anak dengan HIV/AIDS termasuk pengobatan dengan obat antiretroviral (ARV) sudah banyak kemajuan. Dengan perawatan dan pengobatan yang baik, disertai dengan dukungan psikososial yang memadai, seorang anak/ remaja bisa tumbuh dan berkembang dengan cukup baik. Beberapa persoalan yang menyangkut perawatan, pengobatan dan dukungan untuk anak/ remaja dengan HIV/AIDS al adalah:

  • sebagian besar dokter anak dan petugas kesehatan di Indonesia, belum pernah dilatih untuk mengenal dan mengobati anak dengan HIV/AIDS, sehingga biasanya anak dengan AIDS umurya tidak panjang, dan anak meninggal karena tidak mendapat pengobatan yang benar.
  • petunjuk pengobatan secara nasional untuk pengobatan & penatalaksanaan HIV/AIDS, infeksi oportunistik dll pada anak belum ada dalam bahasa Indonesia
  • Sebagian besar pabrik obat belum memproduksi obat2 yang dibutuhkan (terutama anti retroviral) dalam bentuk dan dosis yang cocok untuk anak.
  • HIV/AIDS pada anak remaja, seringkali disebabkan karena narkoba suntik, dan biasanya HIV/AIDS disertai oleh penyakit2 lain seperti hepatitis B hepatitis C, TBC, dll. Karena itu, pengobatannyapun lebih rumit, dan sedikit sekali dokter/ petugas kesehatan di Indonesia yang telah terlatih.

II. Anak yatim piatu karena AIDS:
Jumlah yang besar kematian orang dewasa muda dan usia menengah, mengakibatkan peningkatan jumlah anak yatim dan yatim piatu yang sangat besar. Sayang sekali di Indonesia, kita belum mempunyai data seperti ini, sehingga sulit untuk menyusun strategi yang memadai SEKARANG untuk mencegah penderitaan lahir batin maupun ”cost” sosial and ekonomis yang akan dipikul oleh anak, masyarakat dan Negara.
Penderitaan anak2 ini sebenarnya sudah mulai sebelum orang tuanya meninggal, karena mereka menyaksikan al penderitaan dan biaya yang besar karena orang tua sakit (biasanya mulai dari ayah atau ibu, kemudian kedua orang tua) dan meninggal secara berurutan. Mereka juga akan menderita karena menyaksikan percekcokan dan saling menyalahkan antara orang tua, stigma dan diskriminasi dari anggota keluarga yang lain, tetangga, masyarakat sekitarnya, disekolah dll. Karena itu, pelayanan dan dukungan untuk pemberdayaan anak2 ini sudah harus dimulai ketika orang tuanya masih hidup.
Pemberian ARV pada orang tua ODHA secara dramatis menunjukkan penurunan jumlah anak yatim piatu dan dengan demikian menurunkan social and economic cost untuk masyarakat dan negara.

III. Apa yang dapat dilakukan oleh Anggota DPR RI / DPRD?
Saya bagi peran ini dalam 2 bagian: 1) berkaitan dengan tugas Anggota Parlemen dan DPRD dalam bidang a) Penyusunan Peraturan Perundangan, b) bidang Anggaran dan c) Pengawasan. Dan 2) anggota Parlemen/ DPRD sebagai tokoh masyarakat (toma), tokoh adat (toda) maupun tokoh agama (toga) dalam masyarakat lingkungannya.

Tugas Anggota Parlemen dan DPRD
Peraturan Perundangan: Komisi Penanggulangan AIDS (KPA Nasional) bekerja sama dengan Forum Parlemen (IFPPD) selam 2 tahun telah melakukan kajian terhadap berbagai peraturan perundangan yang berdampak pada upaya Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. 4 Undang-undang diharapkan akan direvisi dalam waktu dekat, yaitu UU no 4/1984 tentang Wabah penyakit menular, UU 23/1992 tentang Kesehatan, UU 5/1997 tentang Psikotropika, dan UU 22/1997 tentang Narkotika. Sangat diharapkan UU tersebut dapat mengatasi sebagian hambatan terhadap upaya pencegahan HIV/AIDS di tanah air. Disamping itu, sangat dirasakan pentingnya suatu dasar hukum bagi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dari tingkat Nasional, Prov, Kabupaten dan Kota untuk menggantikan Kep Pres no 36/1994, agar lembaga ini dapat memimpin, mengelola dan mengkoordinasikan seluruh kegiatan penanggulangan HIV/AIDS dengan cepat, tepat dan efektif.
Disamping harapan terhadap DPR RI, juga ada kebutuhan yang sangat besar agar di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota upaya penanggulangan HIV/AIDS dapat berlandaskan Peraturan Daerah (Perda) sebagaimana disepakati dalam Komitmen Sentani, yaitu kesepakatan bersama antara pemerintah tingkat Nasional dan Provinsi serta DPR RI Komisi IX. Namun, hampir 2 tahun Komitmen Sentani (ditanda tangani tanggal 19 Januari 2004), baru 1 Provinsi (Jawa Timur), dan 2 kabupaten (Merauke dan Jayapura) yang telah berhasil menerbitkan Perda Penanggulangan HIV/AIDS. Di daerah2 yang lain prosesnya sangat lambat dan banyak sekali tantangan terutama menyangkut pemakaian kondom 100% pada setiap perilaku seksual risiko tinggi. Banyak anggota Dewan yang tidak menyadari, bahwa mewajibkan setiap lelaki yang membeli seks untuk memakai kondom, justeru untuk melindungi kesehatan keluarga dan masyarakat.
Sebenarnya, UU no 23/2002 tentang Perlindungan Anak cukup banyak memuat pasal2 yang bila dilaksanakan secara konsekuen, bisa membantu melindungi anak dari dampak epidemi HIV/AIDS dan narkoba, namun sangat disayangkan, bahwa UU ini agaknya kurang sekali disosialisasikan ke daerah2 apalagi disertai penegakan hukum secara konsekuen!

Anggaran. Mungkin karena kekurangan pengetahuan para anggota Dewan maupun pihak Eksekutif tentang dampak epidemi AIDS & narkoba terhadap pembangunan SDM, ekonomi maupun sosial politik, serta tidak adanya landasan hukum yang lebih tegas untuk KPA dan seluruh upaya penanggulangan HIV/AIDS, maka anggaran di semua tingkat pemerintahan sangat tidak memadai. Ini jelas merupakan kendala yang amat besar bagi upaya penanggulangan AIDS dan Narkoba, yang mengakibatkan makin meningkatnya jumlah orang termasuk anak2 yang terinfeksi.

Pengawasan. Di DPR RI sudah makin banyak anggota Dewan yang menanyakan tentang HIV/AIDS kepada pemerintah, terutama Menteri Kesehatan. Namun, tidak pernah kita dengar anggota Dewan meminta keterangan kepada menteri2 lain yang merupakan anggota Komisi Penanggulangan AIDS sesuai KepPres 36/1994. Di daerah apalagi. Sungguh sedikit anggota DPRD di Prov/Kabupaten/Kota yang menanyakan apa upaya pemerintah untuk perlindungan anak, keluarga dan masyarakat terhadap HIV/AIDS dan narkoba?

Anggota DPR RI/DPRD sebagai pribadi
Anggota Dewan pastilah juga merupakan tokoh2 masyarakat, adat ataupun agama, yang dipilih oleh rakyat konstituennya. Oleh karena itu, sungguh banyak yang dapat dilakukan olehnya untuk menyelamatkan jiwa anak2 kita al advokasi kepada berbagai pihak, agar pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dan Narkoba dijadikan prioritas nasional, maupun daerah. Angg. Dewan dapat menggerakkan masyarakat, agar meningkatkan ”perang” terhadap para pengedar narkoba dan penjual VCD dan tayangan porno, agar anak remaja laki2 dan perempuan menunda hubungan seks sampai sudah menikah. Dan gerakkan khusus lelaki yang suka ”membeli seks” agar bertanggung jawab untuk tidak menularkan HIV kepada isteri dan anaknya. Kewajiban memakai kondom 100% di tempat2 pelacuran adalah untuk melindungi kesehatan keluarga, termasuk bayi2 yang tak berdosa. Jalan yang lebih baik adalah berhenti berperilaku risiko tinggi dengan berganti2 pasangan seksual tanpa memakai kondom.
Angg. Dewan juga dapat mengusahakan lingkungan yang kondusif untuk ODHA termasuk anak – untuk mencegah dan menghilangkan stigma & diskriminasi, serta menjamin kebutuhan fisik dan emosional anak2 kita.

Kesimpulan:
Dampak negatif epidemi HIV/AIDS pada anak BISA dan HARUS dicegah mulai SEKARANG. Anggota DPR RI/ DPRD memegang peranan yang sangat penting sebagai Pemimpin dan tokoh masyarakat, maupun sebagai anggauta Dewan yang melaksanakan tugas dan fungsinya dalam bidang Peraturan Perundangan, Panganggaran dan Pengawasan.

Semoga kita mampu melindungi anak2 dan remaja kita terhadap dampak negatif epidemi ganda AIDS dan Narkoba di tanah air tercinta. Amin.

Dr Nafsiah Mboi, SpA, MPH adalah dokter anak pemerhati AIDS, mantan anggota DPR RI, mantan Director, Gender and Women’s Health, WHO Geneva dan Ketua UN Committee on the Rights of the Child, Geneva

Dampak HIV-AIDS Bagi Kehiidupan

1. Dampak Demografi

Salah satu efek jangka panjang endemi HIV dan AIDS yang telah meluas seperti yang telah terjadi di Papua adalah dampaknya pada indikator demografi. Karena tingginya proporsi kelompok umur yang lebih muda terkena penyakit yang membahayakan ini, dapat diperkirakan nantinya akan menurunkan angka harapan hidup. Karena semakin banyak orang yang diperkirakan hidup dalam jangka waktu yang lebih pendek, kontribusi yang diharapkan dari mereka pada ekonomi nasional dan perkembangan sosial menjadi semakin kecil dan kurang dapat diandalkan. Hal ini menjadi masalah yang penting karena hilangnya individu yang terlatih dalam jumlah besar tidak akan mudah dapat digantikan. Pada tingkat makro, biaya yang berhubungan dengan kehilangan seperti itu, seumpama meningkatnya pekerja yang tidak hadir, meningkatnya biaya pelatihan, pendapatan yang berkurang, dan sumber daya yang seharusnya dipakai untuk aktivitas produktif terpaksa dialihkan pada perawatan kesehatan, waktu yang terbuang untuk merawat anggota keluarga yang sakit, dan lainnya,juga akan meningkat.

2. Dampak Terhadap Sistem Pelayanan Kesehatan

Tingginya tingkat penyebaran HIV dan AIDS pada kelompok manapun berarti bahwa semakin banyak orang menjadi sakit, dan membutuhkan jasa pelayanan kesehatan. Perkembangan penyakit yang lamban dari infeksi HIV berarti bahwa pasien sedikit demi sedikit menjadi lebih sakit dalam jangka aktu yang panjang, membutuhkan semakin banyak perawatan kesehatan. Biaya langsung dari perawatan kesehatan tersebut semakin lama akan menjadi semakin besar. Diperhitungkan juga adalah waktu yang dihabiskan oleh anggota keluarga untuk merawat pasien, dan tidak dapat melakukan aktivitas yang produktif. Waktu dan sumber daya yang diberikan untuk merawat pasien HIV dan AIDS sedikit demi sedikit dapat mempengaruhi program lainnya dan menghabiskan sumber daya untuk aktivitas kesehatan lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh John Kaldor dkk pada tahun 2005 memprediksi bahwa pada tahun 2010, bila upaya penanggulangan tidak ditingkatkan maka 6% tempat tidur akan digunakan oleh penderita AIDS dan di Papua mencapai 14% dan pada tahun 2025 angka – angka tersebut akan menjadi 11% dan 29%. Meningkatnya jumlah penderita AIDS berarti meningkatnya kebutuhan ARV. Rusaknya sistem kekebalan tubuh telah memperparah masalah kesehatan masyarakat yang sebelumnya telah ada yaitu tuberkulosis. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kejadian TB telah meningkat secara nyata di antara kasus HIV. TB masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia dimana setiap tahunnya ditemukan lebih dari 300.000 kasus baru, maka perawatan untuk kedua jenis penyakit ini harus dilakukan secara bersamaan.

3. Dampak Terhadap Ekonomi Nasional

Mengingat bahwa HIV lebih banyak menjangkiti orang muda dan mereka yang berada pada umur produktif utama (94% pada kelompok usia 19 sampai 49 tahun), epidemi HIV dan AIDS memiliki dampak yang besar pada angkatan kerja, terutama di Papua. Epidemi HIV dan AIDS akan meningkatkan terjadinya kemiskinan dan ketidak seimbangan ekonomi yang diakibatkan oleh dampaknya pada individu dan ekonomi. Dari sudut pandang individu HIV dan AIDS berarti tidak dapat masuk kerja, jumlah hari kerja yang berkurang, kesempatan yang terbatas untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih baik dan umur masa produktif yang lebih pendek. Dampak individu ini harus diperhitungkan bersamaan dengan dampak ekonomi pada anggota keluarga dan komunitas. Dampak pada dunia bisnis termasuk hilangnya keuntungan dan produktivitas yang diakibatkan oleh berkurangnya semangat kerja, meningkatnya ketidakhadiran karena izin sakit atau merawat anggota keluarga, percepatan masa penggantian pekerja karena kehilangan pekerja yang berpengalaman lebih cepat dari yang seharusnya, menurunnya produktivitas akibat pekerja baru dan bertambahnya investasi untuk melatih mereka. HIV dan AIDS juga berperan dalam berkurangnya moral pekerja (takut akan diskriminasi, kehilangan rekan kerja, rasa khawatir) dan juga pada penghasilan pekerja akibat meningkatnya permintaan untuk biaya perawatan medis dari pusat pelayanan kesehatan para pekerja, pensiun dini, pembayaran dini dari dana pensiun akibat kematian dini, dan meningkatnya biaya asuransi. Pengembangan program pencegahan dan perawatan HIV di tempat kerja yang kuat dengan keikutsertaan organisasi manajemen dan pekerja sangatlah penting bagi Indonesia. Perkembangan ekonomi akan tertahan apabila epidemi HIV menyebabkan kemiskinan bagi para penderitanya sehingga meningkatkan kesenjangan yang kemudian menimbulkan lebih banyak lagi keadaan yang tidak stabil. Meskipun kemiskinan adalah faktor yang paling jelas dalam menimbulkan keadaan resiko tinggi dan memaksa banyak orang ke dalam perilaku yang beresiko tinggi, kebalikannya dapat pula berlaku – pendapatan yang berlebih, terutama di luar pengetahuan keluarga dan komunitas – dapat pula menimbulkan resiko yang sama. Pendapatan yang besar (umumnya tersedia bagi pekerja terampil pada pekerjaan yang profesional) membuka kesempatan bagi individu untuk melakukan perilaku resiko tinggi yang sama: berpergian jauh dari rumah, pasangan sex yang banyak, berhubungan dengan PS, obat terlarang, minuman keras, dan lainnya.

4. Dampak Terhadap Tatanan Sosial

Adanya stigma dan diskriminasi akan berdampak pada tatanan sosial masyarakat. Penderita HIV dan AIDS dapat kehilangan kasih sayang dan kehangatan pergaulan sosial. Sebagian akan kehilangan pekerjaan dan sumber penghasilan yang pada akhirnya menimbulkan kerawanan sosial. Sebagaian mengalami keretakan rumah tangga sampai perceraian. Jumlah anak yatim dan piatu akan bertambah yang akan menimbulkan masalah tersendiri. Oleh sebab itu keterbukaan dan hilangnya stiga dan diskriminasi sangat perlu mendapat perhatian dimasa mendatang.

Dampak Psikososial Pengidap HIV-AIDS

Apa sih yang kita pikirkan kalo tahu seseorang mengidap HIV-AIDS? Takut tertular hingga menjauhkan? Menjudge bahwa dia adalah penyakitan yang dapat menular hingga patut dijauhkan? Menganggap bahwa dia adalah manusia yang tidak patut didampingi?

Sadarkah bahwa dia adalah tetap teman yang sangat memerlukan bantuan? Dirinya pasti mengalami dampak psikososial yang sangat hebat, syok, penyangkalan, kemarahan, kesedihan mengisolasi diri bahkan pikiran atau tindakan bunuh diri.

Terkejut merupakan respon normal terhadap berita yang mengancam kehidupan.

Secara umum reaksi syok termasuk:

q Terdiam, hilangnya perhatian, atau ketidak percayaan;

q Kebingungan, keresahan, atau ketidakpastian mengenai hari ini dan masa depan;

q Putus asa (Oh Tuhan, semuanya menjadi berantakan)

q Emosional tidak stabil (perubahan cepat dan tidak terduga dari menangis sampai tertawa dan terus silih berganti);

q Menarik diri – menjaga jarak dari berbagai keadaan sekitar ; menghindar untuk terlibat dalam percakapan, aktivitas atau rencana pengobatan.

Beberapa orang merespon penyakit mereka dengan menyangkalnya (“Ini tidak mungkin dapat terjadi padaku”).

Sementara waktu, penyangkalan diri dapat menolong untuk mengurangi stres, kalau hal itu terus berlangsung, dapat menghambat perubahan perilaku dan keputusan dalam hidup, terutama untuk mengatasi HIV serta untuk mencegah penularan.

Jika penyangkalan tidak dihadapi, orang tidak dapat menerima tanggung jawab sosial yang berkaitan dengan perjalanan infeksinya..

MARAH TIDAK TERKENDALI KARENA :

Perasaan tidak beruntung dan mereka dapat melakukan tindak merusak seperti melukai diri sendiri atau orang lain.

Perasaan tidak mampu lagi untuk bekerja meski sebetulnya masih mampu. Dengan banyaknya keterbatasan dalam hidup– seperti makan (diet), pekerjaan , kontak sosial secara umum, dan sering menjadi sumber atau sasaran kemarahan orang terdekat.

Dipicu oleh kejadian yang tidak terduga dan kejadian yang sepele.

Perasaan marah pada diri sendiri sering timbul dalam bentuk:

q menghancurkan diri sendiri dengan membiarkan diri terserang HIV tanpa upaya mengobatinya

q atau mencegah berlanjutnya infeksi,

q atau dalam bentuk tingkah laku merusak diri sendir (kecenderungan bunuh diri).

Ketakutan akan kematian, atau kesendirian dalam kesakitan, sangat umum terjadi.

Ketakutan lain adalah karena:

q takut dijauhi,

q ditolak,

q diabaikan atau ditinggalkan anak-anak/keluarga,

q ketidakmampuan mencari nafkah,

q kehilangan fungsi tubuh atau mental,

q dan kehilangan kepercayaan diri.

Ketakutan mungkin didasarkan atas pengalaman orang lain. Hal ini mungkin juga disebabkan kurangnya informasi mengenai HIV/AIDS.

Ketakutan sering dapat dikurangi dengan diskusi secara terbuka dalam konseling.

ODHA dapat bereaksi dengan menarik diri dari seluruh kontak sosial.

Faktor penting yang mendorong situasi ini adalah ketakutan ditolak, dengan pikiran: “Setiap orang akan menolak saya, karena itu lebih baik saya menjauh dari mereka sebelum mereka meninggalkan saya”.

Pada awalnya konselor dapat menghargai perasaan untuk mengisolasi diri sementara waktu , namun dukungan konseling harus terus berlanjut.

Kalau isolasi terus berlarut dalam jangka waktu yang lama, konselor perlu menggali penyebabnya, dan mendorong perubahan sikap ini.

Muncul perasaan bersalah akan kemungkinan:

q menularkan pada orang lain,

q atau mengenai tingkah laku yang menyebabkan

mereka tertular HIV . misalnya:

Ø pengalaman hubungan seks yang tidak aman atau

Ø menggunakan obat-obatan yang disuntikkan).

Ada juga perasaan bersalah karena kesedihan, berpisah dan kehilangan orang-orang serta keluarga yang dicintai

Perasaan bersalah masa lalu yang tidak terselesaikan akan muncul dan memperberat kondisi mental mereka.

ODHA sering merasa harga dirinya terancam

Harga diri seringkali merupakan pemicu terjadinya berbagai sikap agresifitas, irritabilitas, kecemasan dan isolasi diri

Penolakan oleh tetangga, rekan kerja, kerabat dekat, dan orang-orang yang dicintai dapat menyebabkan kehilangan status sosial dan kepercayaan diri, mengarah kepada meningkatnya perasaan tidak berguna.

Pengaruh fisik terkait HIV, contohnya, perubahan rona wajah, menurunnya fungsi fisik dapat memperberat masalah ini

Bunuh diri terjadi sebagai alasan menghindari rasa sakit yang dirasakan sendiri atau mengurangi penderitaan.

Bunuh diri dapat terjadi :

aktif (sengaja melukai diri yang menyebabkan kematian) atau

pasif (tingkah laku merusak diri, sepert menolak pengobatan, menyembunyikan penyakit).

Dampak HIV dan AIDS Bagi Anak yang Terlahir dari Orang Tua Odha Pecandu Narkotika Suntikan (Penasun)

Jumlah anak yang terinfeksi HIV/AIDS terus meningkat karena belum adanya penanganan terfokus untuk anak dari penasun yang berisiko menularkan kepada pasangan & anaknya menurut Evi Sukmaningrum peneliti dari Unika Atma jaya, Jakarta pada konferensi AIDS se Asia Pasific di Bali beberapa waktu yang lalu. Hal tersebut bertambah komplek karena menyusul adanya masalah pendidikan , kesejahteraan, kondisi psikologis, masalah keluarga dan lainnya.

Unika Atma Jaya, Jakarta telah melakukan assessment yang bertujuan untuk memperoleh gambaran kondisi awal anak, orang tua, pasangan, dan masyarakat terkait aspek psikososial, kesehatan dan gizi. Selain itu juga untuk membangun sebuah model intervensi dalam mitigasi dampak HIV dan AIDS terhadap anak dan keluarganya, termasuk didalamnya pelibatan peran aktif dari anak, keluarga, dan komunitas; peningkatan kerja sama dengan lembaga lain yang relevan

Responden dari assessment adalah keluarga Odha Penasun yang memiliki anak berusia 0-12 tahun, salah satu orangtua terinfeksi HIV dan berdomisili di Jakarta

Dari hasil assessment didapat daftar masalah pada anak dari Penasun yaitu:

  • Masalah makan harus lebih bergizi

  • Masalah tingkah laku (agresif, hiperaktif)

  • Masalah emosi (temper tantrum, cari perhatian, mudah marah)

  • Masalah sosial (kurang mandiri, tidak PD, agresif thd teman)

  • Masalah keluarga (anak tinggal dengan caregiver, kurang waktu dengan orangtua, cemburu dengan kakak/ adik, merasa tidak diperhatikan)

  • Masalah sekolah (diskriminasi dan stigmatisasi)

Juga didapat daftar masalah dari orang tua, yaitu:

  • Masalah ekonomi dan keuangan (pengangguran, gaji rendah, single parent)

  • Masalah komunikasi

  • Masalah perkawinan

  • Masalah kesehatan

  • Masalah adiksi

  • Masalah dengan LSM yang mendampingi

  • Diskriminasi dari keluarga besar

  • Diskriminasi di rumah sakit

  • Masalah pengasuhan

Dapat disimpulkan bayak responden masih tinggal menumpang pada kerabat/nenek/ kakek dengan sanitasi dan kebersihan tempat tinggal yang tidak memadai mempengaruhi status kesehatan anak karena seluruh responden berada dalam golongan social ekonomi bawah (variasi pekerjaan ayah: satpam, wirausaha, petugas kebersihan, parkir, ojek, tukang las, pedagang, teknisi AC, buruh, membantu di LSM, PNS)

Masih banyak anak yang status HIVnya belum diketahui karena masalah biaya (screening yang mahal) dan kurangnya pengetahuan orangtua tentang HIV/AIDS, Anak-anak yang terdampak HIV masih banyak belum mendapatkan pengobatan TBC yang optimal juga infeksi oportunistik lainnya